11 February 2013

Mati Rasa

Rentang rasa telah robek di sana-sini ditikam angin perobahan, disayat-sayat nalar pragmatis si anak jaman.
Rentang rasa tersisih ke pinggir jalan, didepak nafsu-nafsu serakah yang pecicilan dan semakin telanjang tanpa malu-malu.
Rentang rasa terkikis menipis digerus roda perubahan etika hidup dalam kebersamaan.

Sedetik saja kebijaksanaan terkulai di emperan surau, maka seabad pola hidup hedonis bakal memperkosa nurani bertubi-tubi. Nurani menjadi kurus dan tertunduk diam di punggung kemunafikan yang tengah narsis menebar pesona, dan dengan terampilnya memainkan peran ganda sebagai tokoh “Angel and Devil” dalam satu tarikan nafas. Sementara mereka yang masih menggengam kearifan diri - yang kusam bungkusnya itu, duduk di atas tanah pusaka sambil menyaksikan jaman yang semakin tersaruk memikul beban "badai moral" dipundaknya.
Sayup-sayup nyanyian puji masih terdengar walau sumbang, timbul tenggelam suaranya ditelan dentuman-dentuman syahwat menyentak. Diantara bau-bau mistis yang memabokan, manusia bergerak liar menari-nari menebar api dan mengumbar nafsu serakahnya di jalan-jalan, di lantai mengkilap – di bawah sorotan lampu memusingkan, di balik simbol partai, di balik jabatan, di balik jubah alimnya, aah...!! Ketika itulah Tuhan hanya ada di tempat pemujaan dan sinarnya tersudut menjadi simbol yang redup di balik gumpalan syahwat duniawi, maka saksikanlah betapa manusia semakin berani dan kreatif menjadikan agama sebagai kedok - topeng pembenaran adanya kolaborasi antara agama dan kemaksiatan, pembenaran yang dipaksakan untuk mengemulsikan yang haq dan yang bathil menjadi ramuan isme baru, semacam proses pencerabutan dimensi ilahiah mencoba diekstrak menjadi dimensi logika.

Keinginan untuk paling benar sendiri,
mau menang sendiri,
mau untung sendiri,
mau berkuasa sendiri,
mau kaya sendiri,
mau mulia sendiri,
mau nyaman sendiri,
mau enak sendiri,
mau aman sendiri,
mau senang sendiri,
mau sejahterah sendiri,
merasa paling hebat sendiri..... dan semua itu datang dari gemuruhnya setitik kecil noktah bernama KESERAKAHAN yang ketika bertemu dengan aji mumpung dan desakan hidup senang, maka bermanuver dan mengembang selayaknya bola salju yang melaju tak terkendali, menelan dan meluluh-lantakkan semua tatanan dan kesempatan yang dilaluinya.

Aku dan kamu semoga saja bukan menjadi saksi terakhir dari dahsyatnya angkara keinginan manusia.
Aku dan kamu hanya bisa duduk bergumam dan bermimpi indah di luar medan laga, jauh dari hiruk-pikuknya gemerlap dunia.

Atau engkau pun sudah mulai berani mencoba peruntungan dan turun gelanggang kawan?
Read More..

05 February 2013

Siapa di mana?

Permainan makna sering memabokkan, seperti meminum air laut!
Seluruh akal terbelenggu tali halus bernama naif, lalu otak otomatis memberi ruang khusus yang dihias dengan aroma "katanya" yang membutakan nurani.

Batasan-batasan kelabu sering membelenggu logika, tanpa nalar berani mengambil kesimpulan. Kemudian menjadi permainan faham adalah warna sehari-hari,  sampai kapan bisa bertahan?
Pejamkan mata jika lelah, letakan beban jika penat, tak usah memaksa keluar dari kubangan bodoh jika belum siap, karena hanya dengan jalan "mengerti"  saja belum cukup untuk membuat status "expert".

Read More..