11 June 2009

Tembang Kehidupan II


Lir ilir, lir ilir, ada yang berdenyut-denyut nglilir menjadi setitik zygot, setelah peniupan kemudian mengalun pasrah atas nama sang pengutus, mengapung pasrah di lautan berkah. Hingga pada saatnya nglilir tumbuh menggelinjang kontraktif, menendang-meninju dinding pembatas alam eksisten. Genit tanpa tingkah, menggelitik merayu tanpa kata... nuansa yang membuat bahagia dan tergopoh-gopoh. Diamnya kadang begitu yakin, seperti paham kehadirannya diharap-harap dan akan turut menjadi saksi. Seakan tahu pasti kemana, untuk apa, karena apa, dengan siapa dia akan melintas alam. Sangkala pun melengking panjang ... Bersiaplah jadi utusan bagi umatmu, pangon tumrap kawulo.
Lir-ilir .. bangunlah dari persemaianmu. Ajaklah serta karib-karibmu untuk berkemas... Kenalilah mereka baik-baik.... karena peristiwa itu hanya akan menjadi sebingkai cermin kusam berlepotan noktah, yang menjadi konsumsi orang-orang gila di sudut ruang kecil…. Ya hanya si gila yang mau bercermin pada peristiwa sebelum kiamat itu.

Tangismu merobek dataran tandus di dada kedua orang tua genetikmu... hujan tangis bahagia mengalahkan rasa sayatan dan peluh derita itu!
Suka tidak suka ... telah tiba saatmu terlepas dari cangkang garba.
Menepilah..! Menapaklah di dataran sebab akibat, Lautan Rahmat ‘kakang tanpa rasa’ itu telah tercerai berai mangejawantah di bawah alam sadarmu dan takzim meniup saksophone suar, mengisi interval-interval kosong hidupmu ..
Kunyahlah dengan geraham dan mulut ragamu segala tetek bengek kebutuhanmu. Lumbung logistikmu tak lagi mengucur langsung ke penjuru syaraf dan nadimu, physically cut off !! Sementara sang pembawa hidup seketika independent menelusur seluruh lorong nadi seperti derap pasukan merah... bersambut gayung dengan setiap tarikan dan hembusan nafas.
Sedangkan krenteging nyat telah bypass antaramu dengan Nya... bukan lagi wujud nyidam, segera berubah menjadi rengekan dan saatnya kelak harus kau panjat sendiri. Belajarlah berjalan di atas hamparan tanah ibumu, belajarlah berucap di ruang udara bapakmu, saksikanlah dengan ainul yaqin bahwa wilayahmu kelak bukan hanya basic instinct, karena ada cipta, ada rasa, ada budi dan ada karsa. Di hentakkan jantungmu menyatu nafs, berupa sekumpulan kawulo yang selayaknya kau terima sebagai wadyabala carakaning pangeran. Tumbuhlah akal hidup dan biarkan akarmu mulai menukik memproklamirkan diri di permukaan ibu bumi “Tandure wus sumilir” Si jabang premordial telah tumbuh menghijau dan menghuni bapa ruang, mengaru-biru berebut kesempatan tumbuh menjadi sebuah pribadi yang ijo royo-royo.

Tak ijo royo royo, berdirilah di puncak kulminasi usiamu....
Gemilang pancaroba ini, gembalakanlah wadyabalamu di pematang kaidah, jangan biarkan menyeberangi parit kebijaksanaan. Ngono yo ngono ning ojo ngono, segala sesuatu ada takaran dan trapnya, jangan biarkan mereka liar merusak tandur yang ijo royo-royo itu. Siangi dengan kidung ilahiah yang dititipkan di dahan dan ranting pohon belimbing yang tumbuh di depan surau itu. Jangan ciptakan pertikaian karena ijab qobul penyatuan telah jatuh syah saat terjadinya tiupan pengutusan. Tak sengguh temanten anyar ketika mereka balance satu sama lain kaya mimi lan mintuna, padahal lama sejak pertemuan dan penyatuan itu sang mempelai pria-lahir dan wanita-bathin telah duduk di pelaminannya, bahkan sebelum kiamat itu. Rias saja ke empat pagar ayu domasnya secantik mungkin. Aluamah yang berpakaian hitam, amarah yang berpakaian merah, supiah yang berpakaian kuning dan mutmainah yang berpakaian putih.

Cah angon, cah angon, bimbinglah mereka untuk tunduk kepada kedua mempelai, dan jika ulah mereka mengotori dodot ageman sang pengantin segera penekna blimbing kuwi untuk mencucinya. Lunyu lunyu penekna, seberat apapun panjatlah kanggo basuh dodot ira agar tetap cemerlang. Dodot ira, dodot ira, kumitir bedah ing pinggir compang-camping di syak keragu-raguanmu. Agemanmu adalah pelindung, bekal, catatan bhaktimu, maka Dondomana, jlumatana, kanggo seba pada pasowanan agung mengko sore.
Mumpung padhang rembulane, selagi masih kau genggam potensi olah cipta, rahsa, budi dan karsa di pusat kemanusiaanmu. Mumpung jembar kalangane selagi masih terbentang ruang kesempatan.. Jangan terbuai oleh pesona dunia dan segala kemilau semunya.
Ya suraka, surak hiya ...!! Serulah nama tuhanmu, serulah hingga ke ruang-ruang sempit di lipatan-lipatan nuranimu.
Read More..

01 June 2009

Tembang Kehidupan


Sembari mematut angan… mengenangmu adalah seperti kembali terjebak di alunan Ladrang Asmaradahana….. Menampik!. Menghalau! Meronta bak awan yang terburu angin…bergulung lalu luruh mendayu.. seperti tarian rasa yang melukis kesedihan di langit dengan senyumanmu.
Antara kilatan senyummu dan langkahku tidak lebih sedepa atau kurang… sia-sia saja, seperti menyulam angin menjadi hamparan nasib.. tak pernah klimaks asaku yang tersangkut di lurus hitam rambutmu dulu. Tembang Sinom yang melintas miskin kesan.

Dawai gitar saksi dentingan hatiku pun telah lama putus dihentak kerasnya jaman, kita kepalang pisah dan tiada sempat berucap pesan. Bunga jati pun berguguran menutup jejak kita..lalu hujan meratakannya. Tanpa kesan dan tiada kata.. lempang, sunyi, ngelangut menyasar ke relung paling sepi. Tembang Gambuh iku bukan milik kita.

Palu paman Pande Besi gemerentang nyaring mengusik paksa dengkur kumalku. Sekian pagi lewat tanpa sehelai pun bayangan tentangmu lagi, berlalu pelan seperti kemarin dan kemarinnya dan…kemarinnya lagi.
Roda kayu yang berderit di jalan becek di samping kepulan mimpiku itu terhuyung karena ulah batuan nakal… kemudian meninggalkan bekas gemetar di tanah …Aah..! Masih terlalu malam untuk sebuah perjalanan kawan!. Segera ku susul engkau jika bang wetan telah penuh dengan lautan cahaya... tak perlu bergumam kawan, nanti kita bersama nembang Durma keras-keras di sepanjang bhekti.

Hibernasi ini adalah Senandung Pangkur yang mulai terang-terangan menelanjangi satu persatu hasrat amatiran yang udik dan rendahan. Sebuah realita yang sudah awam ku kunyah, walau belum sempat ku telan tanpa rasa.
Sejarak bersama waktu memungkinkan otakku belajar untuk tidak membelit pangkal kesadaran ini dengan setan kecil bernama Syahwat Birahi berkedok Cinta .., biarlah “what ever will be, will be”. Busur itu telah lacur melesat dari sang gendewa … tanpa pernah mampu memilih apa-siapa sasaran di depannya. Busur yang malang ataukah busur yang pasrah? Sedangkan dia tunai-ikhlas pada lintasan yang telah dilaluinya, bersama-sama yang lain bergumam syair Kinanthi…..jamaah. Betapanya terlukis jumawa dan agung indahnya ketentuan dari Yang Maha Menentukkan takdir.

Kukuruyuuuuk…!!!

Sumpah serapahku … untung kau bangunkan aku ayam penyibuk!!
Kulipat putih mimpiku… cunthel sudah alunan Dandanggulo itu, bergegas ke “padasan” lalu bersama dingin pagi yang mengigil, ku rogohi kerak ngambu-ambu kesalahan dari lubang hidungku, ku kumuri busuk ucapanku, ku basuh kepura-puraan di mukaku… ku cuci kejahilan tangan-tanganku, …. ku seka otak kotorku, ku gosok suka-nguping telingaku …… terakhir ku guyur kosok langkah-langkah nista kakiku …
Terakhir lagi, sudahkah sesuci sinar rembulan-yang masih tersisa di angin pagi itu- ya Tuhanku ?
“Lebay..!! Mimpi kali..!! Mbok ngaca..! Bercermin! Hahahaha”. Ada yang terpingkal-pingkal sampai guling-guling di lantai (rofl). Aku tercenung sejenak dan berbisik lirih
“Tolong jaga mulut busukmu!” ancamku lirih dan tetap menunduk (doh). Aku sadar memang berlebihan rasanya berharap untuk suci diri. Sebegitu gampangnya aku terpancing amarah oleh pembisik laknat itu. Tapi biarlah, aku berhak membela diri.
“Hey, aku tahu asalku dari setetes air mani (yang aku heran kenapa dihinakan?) dan di dalam perutku bermukim kotoranku dan najisku sendiri”, tetap kutahan suaraku agar sepelan mungkin. “Ketahuilah aku adalah Maskumambang titah Gusti Yang Maha Kuasa.. yang mijil sebagai khalifah di muka bumi ini….. !
Ku dengar sesenggukan menahan tawa dan akhirnya (lmao).
“Bwaahahaha…!! Makhluk sepertimu mengaku Khalifah? Ndak punya malu babar blas..!!” pembisik laknat itu enak saja jingkrak-jingkrak di antara aku dan Tuhanku.
Harusnya ku diamkan saja, karena pembisik itu memang tidak lebih adalah bentuk besarku sendiri. Hah..!!
Aku dipermalukannya di atas hamparan sajadahku sendiri, setan alas..!!.Laknat..!! Kucari-cari di sekelilingku bentuk kecilku yang paling ringkih… dan paling sering ku khianati sendiri. Hari ini aku ingin dekat denganmu karib kecilku.. sampai nanti Megatruh.
Mencoba menarik napas panjang sebisaku… mencoba lerem sebisaku.. rasanya seperti menarik beban selaksa kuintal, ku coba mengingat suara di pohon jati di samping pusara kakekku dulu.

“Samubarang kang tipise kaya ngapa yen mbok kandeli ( ngandel ) bakal dadi kandel le..”

Aku tak pernah paham maksudnya… tapi kini, ulah pembisik laknat itu mengajariku…

Pucung.

Batam, 01 Juni 2009
Read More..