25 November 2009

November Rain


Sembari mematut angan, ku pandangi rinai hujan yang asyik menyiram tanah merah menjadi genangan-genangan kerinduan. Daun-daun akasia terayun basah, ada seikat kabut rindu tengah mengapung di genangan pedih bathin yang nelangsa. Jalan ini kepalang panjang membentang, hingga sebuah lambaian tangan pun tak akan lagi nampak, walau di ujung mimpi sekali pun. Jarak nisbi itu memaksa pisah…. Memasang selembar hijab antara.

Mencoba bangkit bertahan di kaki-kaki yang gemetar, menuju asal sinar temaram kecil di sudut dinding waktu. Yaa... sinar yang hanya temaram dan kebat-kebit seperti pengharapan pada hidup yang sampai detik ini tak pernah menyisakan kepastian. Musim ini menggigil pekat seakan tidak pernah mengijinkan sinar matahari barang sejenak sambang ke ruang rasa. Dejavu … seakan segala peristiwa terulang-ulang dalam remang gelap yang dingin menusuk-nusuk kenyataan ini. Semoga di sana masih ada cahaya…..

Ngelangut… Masih saja kosong memandangi rinai hujan Nopember, kilatan halilintar yang sesekali itu tak memudarkan pengembaraan menjelajahi negeri khayal, dalam duduk terpekur ada langkah-langkah yang begitu gegas, serasa melesat ke puncak kulminasi rekaan, lalu … menukik ke dasar harapan. Dan aaah.! Ada yang terlempar..! Seonggok bangkai harapan tiba-tiba saja terpuruk di bawah jendela kaca yang tembus masa depan namun terkunci rapat itu. Wolo-wolo kuwato…. Kadang-kadang ikhlas ternyata harus diawali dari keterpaksaan, dari belajar mereguk rasa pahit… Lalu mengadaptasi kegetiran menjadi sesuatu yang lumrah tanpa rasa. Atau jika mau bisa “dipaksakan” menjadi terasa manis semanis anggur syurgawi.

Andai saja mampu membingkai tagihan-tagihan lahiriah itu menjadi sesuatu yang lebih santun, pasti akan lahir legawa untuk segera pulang menumpang di gerbong kereta nasib atau takdir sekalipun. Andai saja penghambaan ini tidak terus-menerus berkedok kemunafikan yang hanya banyak menabur harap, kemudian andai saja yang ada hanya lafal dan rasa memuja kepada sang kekasih, pasti langkah kaki akan ringan seperti kapas kering ditiup angin. Aaah…! Rinai hujan belumlah reda sedikitpun… ritmenya seperti tembang-tembang pujian yang mengalun dari pusat-pusat alam naluri. Andai saja langkah-langkah kaki tidak tersaruk juluran-juluran ego dan mampu menapak jujur.. alangkah nikmatnya menari ditingkahi ritme suara air hujan Nopember ini.

Di luar parit-parit upaya sudah sepenuhnya meluap, menghempas segala obyek eksistensi. Semua bahkan menjadi pucat pasi dan hanya tinggal menggantungkan parameter pada seutas garis tipis bernama moralitas. Luberan badai-badai kecil rekaan jiwa dahaga, selalu mengotori fatwa bijak yang tersaji di cawan-cawan kearifan disepanjang pagar akhlak. Semoga tidak menjelma sebagai kumpulan badai yang menjadi cikal bakal prahara. Prahara yang kontribusinya memalingkan dan mengubah arah nafas jiwa yang tenang jauh dari sarang hakiki.

Sembari mematut angan, dan masih duduk di serambi diri dengan berselimut dingin yang membeku. Sepercik bara yang tersisa masih terlindung dari rengkuhan basahnya air…. Kehangatan yang tidak lagi dapat dirasakan namun harus tetap ada dan menyala. Biarlah rinai hujan memaksa ekspresi diri itu terjebak di ruang persegi yang sempit dan pengap, asalkan dalam pejaman mata sekalipun bathinku dapat menari menyongsong sinar.

Read More..

12 November 2009

Decadence

Sentuhan angin akhir-akhir ini terasa menusuk pori-pori ketentraman, padahal yang ku ingat di setiap hembusannya selalu membuai nyaman.

Di luar langit merah merona, di sini, di tiap-tiap bilik dan serambi terdengar kasak-kusuk dan terlihat muka-muka tegang. Harap maklum…. di ruang utama bangunan peradaban kita ini tengah terjadi gelar perkara perseteruan antar saudara sekandung. Air kendi pun tak menyegarkan lagi karena hidup mereka tak sederhana lagi. Bahkan menjadi sangat rumit, ketika masing-masing mereka berusaha menjatuhkan saudara-saudaranya sendiri... Di langit arak-arakan mega kelam tak beraturan saling tabrak satu sama lain mencoba menterjemahkan kerisauan hati seorang ibu yang menahan isak tangis nelangsa bersimpuh di lapangan bola. Lebih memilih buta daripada melihat anak-anaknya bercerai-berai, lebih memilih tuli daripada mendengar anak-anaknya saling menghardik... Anak-anaknya saling menghujat dan saling menjatuhkan, adalah pemandangan yang sangat menikam dan mencabik perasaan hatinya yang renta. Semakin mencekam… saat hawa panas yang muncul dari medan perseteruan itu mulai membakar rumput-rumput kehidupan, dan memanggang apa saja, bahkan masuk sampai ke lorong-lorong teduh kasih sayang seorang ibu. Eksistensi seorang ibu sebagai sumber cinta dan kehidupan, perwujudan kasih sayang tuhan yang tidak pernah mereka gubris....

Dari segala penjuru mulai menyebar tak terkendali bau-bau busuk mental yang bobrok bercampur dengan aroma keculasan yang menyengat! Ternyata lebih busuk baunya dari aroma segunung sampah. Sehingga para gedibal negeri reptil yang biasa bercengkrama dengan bau busuk itu pun tak mampu juga menahan aroma busuknya perilaku mereka yang mengaku dirinya titisan kemuliaan. Kaum pinggir itu pun lehernya tercekat karena muak dan tak mampu menelan makanan yang dikunyahnya. Segala kebobrokkan itu membuat isi perut mereka berontak.. Ingin muntah! Karena anggota-anggota keluarga yang tengah berseteru itu sebetulnya sering memadankan keinginannya sebagai sebuah kesempatan, kemudian menghalalkan segala keserakahannya. Mengacuhkan janji amanahnya sendiri yang pernah diucapkan saat pengangkatan sumpah jabatan. Apakah berita keculasan ini sudah sampai di meja sidang para dewa-dewa? Entahlah….

Pundi-pundi dharma itu masih tersimpan rapat di balik awan… di antara bintang-bintang, karena para dewa-dewa kelihatannya sedang enggan menabur kebaikan akhir-akhir ini. Mereka setiap waktu hanya geleng-geleng kepala berjamaah.. Terheran-heran! Sungguh berani makhluk yang bernama manusia itu, masing-masing bersumpah atas nama Tuhannya untuk sesuatu yang sebenarnya berwarna abu-abu, bahkan hanya agar terlepas dari jeratan jeruji hukum… Kemudian merangkai berkarung-karung dalih dan demi gengsi kelompoknya! Pseudo-confession..!

Tak sadar bahwa hukum-Nya tidak bisa dipelintir seperti hukum manusia.. karena cetak birunya sudah mengalir dan ada sejak sebelum peniupan sekali pun.

Di sini, di belahan tanah gersang warisan nenek moyang tengah tergolek setumpuk pasal dan ayat kumal yang sudah sobek-sobek ujung-ujungnya. Bekas-bekas finger print yang menempel di sana-sini itu nyata-nyata berasal dari tangan-tangan kotor. Semakin hancur ketika langkah-langkah harta-tahta-wanita ikut menginjak-injaknya rata dengan tanah. Darah kami mengalir dalam geram, ada yang mengganjal di dada kami - kaum yang dikibuli bertubi-tubi.

Kapal ini selayaknya sarang tikus rakus yang masing-masing memikir perutnya sendiri… sedangkan kami para gedibal masih saja tekun mengayuh dayung agar tumpah darah ini tetap berjalan mengantar generasi demi generasi bangsa ke setiap perhentian masa. Dasyatnya badai dan bencana tak menyurutkan semangat bhakti kami… namun tingkah polah sesama saudara yang tengah bertikai itu telah memporak-porandakan ruang kemudi dan itu sangat menyebalkan. Lantas kemana Nahkoda kami?

Trance…? Ah bukan…! Panik..?Ya, typically….. semua kalang kabut saling menelanjangi! Sekuat tenaga berusaha bersembunyi di balik kedok masing-masing! Jari-jarinya asal-asalan menunjuk kesana-kemari, sedangkan kaki-kakinya sibuk mencari-cari pijakan pasal dan ayat yang berserakan di lantai yang kian panas itu. Sementara mulutnya mengoceh asal bunyi.. menebar bau dusta kemana-mana.

Di luar langit semakin memerah… di sini isi bumi masih belum tenang dari gejolak… di sini harga-harga semakin melonjak… di sini pengangguran semakin meningkat.. di sini biaya pendidikan membikin sekarat. Dekadensi moral menghantam semua lapisan.... Tak terkecuali para calon intelektual.
Tetapi…..
Tembok tebal birokrasi itu telah mengangkat mereka menjadi manusia sombong… Wewenangnya telah membutakan matanya…
Jabatan yang disandangnya telah membuatnya lupa daratan,
hari-hari berlalu seperti pesta.

Mereka mengibuli kami lagi…. Dan sekarang memaksa kami untuk melihat pentas drama yang mereka mainkan. Bukan menghibur! Malah semakin memuakkan.

Tit.. tit.. tuit jreng! Damar mati muliho…….


Read More..

06 November 2009

Pagar Makan Tanaman


Becik ketitik ala ketara, sing salah seleh… sebuah ungkapan masyarakat Jawa ketika terjebak dalam upaya penyelesaian konflik yang ruwet dan tidak menentu. Sebuah konsep kepasrahan yang percaya bahwa hakim alam pasti akan tampil menyaru peradilan manusia dan memaksa siapapun yang salah untuk seleh .. menyerah pada kebenaran.

Silahkan sembunyi di balik tebalnya tembok arogansi, silahkan putar balik hukum semaunya… Silahkan beranggapan uniform kekuasaan itu tak terbendung oleh apapun…. Hakim alam Yang Maha Kalem sedang mengadakan gelar perkara dengan caranya sendiri… Ndak peduli dengan ketidak sabaran manusia, yang selalu menyangka aman karena akan hidup seribu tahun lagi… Padahal salah besar!!! Sejatinya kehidupan ini tak berbilang tuan-tuan yang terhormat, kekal… bukan hanya dalam kurun waktu ribuan tahun saja. Lalu selebihnya panggung seperti apakah..? Adalah panggung yang warnanya lugas ditentukan oleh warna kinimu…..!

Sekumpulan reptile yang berebut bangkai ternyata lebih jujur, dan alami mengalir di ketiak naluriah… Seliar-liarnya mereka, satwa-satwa reptile itu tidak akan pernah menjadi Pagar Makan TanamanSing salah bakal seleh… biarkan hukum manusia dipermak dan direkayasa menjadi hukum kompromi yang ngambang dan bisa dibikin memantul elastic dan dipaksa menjadi kerdil untuk dijungkir-balikkan kesana-kemari… Jika hukum buatan manusia sudah compang camping justru oleh sekelompok oknum-oknum yang mestinya bermandat sebagai penegak hukum, maka mari kita tunggu saja hukum alam, karena itu adalah sebuah keniscayaan! Kita ini memang angkuh -- tidak pernah mau berkaca dan belajar dari rangkaian tragedi dan bencana yang baru saja terjadi… ya baru saja terjadi…!! Bahkan dampaknya pun belum lagi beres penanganannya.

Coreng moreng sudah wajah negri kami, luluh lantak kebanggaan itu.. ketika pagar telah rakus dan serakah memakan tanamannya sendiri, betapa nanar tatapan kami, tidak tahu lagi mau mempercayakan kepada siapa lagi hegemoni hukum… dan mahkota keadilan ini. Hukum kami ternyata menjadi taruhan dalam permainan kepentingan pribadi sekelompok juru pagar, mahkotanya suram belepotan noda dan nista. Tak lagi garang dan berwibawa, karena sudah terbalut oleh lembaran-lembaran rupiah yang membutakan. Kata “Mengadili” ternyata tidak pernah memberi atau bahkan menawarkan rasa dan harkat keadilan sama sekali. Neracanya telah oleng kesana kemari dipaksa oleh rekayasa yang menistakan.
Beramai-ramailah membela diri… rapat-rapatlah menyimpan bangkai…..!! Kami yang bodoh dan kecil ini hanya percaya “Ada asap pasti ada api”.

Kami benar-benar kebingungan, masih adakah yang bisa dipercaya? Yang ada hanya topeng-topeng misterius yang tampaknya suci dan jumawa menutupi mata-mata liar yang jelalatan dan rakus. Tikus-tikus rakus itu ternyata paham betul dengan mental-mental di balik topeng-topeng itu, demi untung besar segala cara dilakukan untuk membobol pematang naluri mereka dan sedapat mungkin bisa menganyam rangkaian perkronian dengan mereka. Maka ketahuilah! Yang kalian incar dan jarah itu adalah keringat rakyat negeri ini, bukan harta karun yang nongol begitu saja dari perut bumi.

Selayaknya matahari telah sejengkal di atas kepala… komodo, buaya, biawak, kadal, tokek, iguana, cicak.. saling terkam …. Tanah kami sudah seperti sarang reptile yang liar berebut bangkai, saling mencakar kedok masing-masing… ha..ha..ha.. ternyata kalian sama saja dan lucu-lucu! Mana yang benar dan mana yang salah ,… absurd..!!

Sementara di seberang panggung sana media massa bersorak membidikkan kamera, lalu menggelinjang masyuk dalam lenguhan uphoria yang ejakulasinya … oplah dan rating! Tariannya semakin beringas mengipas-kipas… Betapa mentereng dan jumawanya kekuatan media massa… Bahkan mampu membuat seakan forum peradilan telah pindah tempat, walaupun kenyataan yang ada kadang hanya tidak lebih dari hasutan agar perseteruan semakin gayeng…. Eksploitasi demoralitas yang sangat memuakkan. Rakyatpun akhirnya semakin mual-mual dengan drama yang memalukan itu… Rakyat bingung dan resah ….. Seperti itukah profil pagar-pagar tanaman negeri kami? Lalu dimana gelegar wibawa Sang Bathara Guru yang bisa membuat tikus-tikus itu tunggang langgang karena ciut nyali, dan para penjaga pagar jera mempermainkan tanamannya sendiri? Lalu mana pula para dewa-dewa tukang produksi fatwa-fatwa itu, apakah masih kurang kadar kebobrokan dan kemesuman ulah mereka, sehingga belum layak ditempeli fatwa haram?
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
( miris rasanya… )


Read More..