Sembari mematut angan, ku pandangi rinai hujan yang asyik menyiram tanah merah menjadi genangan-genangan kerinduan. Daun-daun akasia terayun basah, ada seikat kabut rindu tengah mengapung di genangan pedih bathin yang nelangsa. Jalan ini kepalang panjang membentang, hingga sebuah lambaian tangan pun tak akan lagi nampak, walau di ujung mimpi sekali pun. Jarak nisbi itu memaksa pisah…. Memasang selembar hijab antara.
Mencoba bangkit bertahan di kaki-kaki yang gemetar, menuju asal sinar temaram kecil di sudut dinding waktu. Yaa... sinar yang hanya temaram dan kebat-kebit seperti pengharapan pada hidup yang sampai detik ini tak pernah menyisakan kepastian. Musim ini menggigil pekat seakan tidak pernah mengijinkan sinar matahari barang sejenak sambang ke ruang rasa. Dejavu … seakan segala peristiwa terulang-ulang dalam remang gelap yang dingin menusuk-nusuk kenyataan ini. Semoga di sana masih ada cahaya…..
Ngelangut… Masih saja kosong memandangi rinai hujan Nopember, kilatan halilintar yang sesekali itu tak memudarkan pengembaraan menjelajahi negeri khayal, dalam duduk terpekur ada langkah-langkah yang begitu gegas, serasa melesat ke puncak kulminasi rekaan, lalu … menukik ke dasar harapan. Dan aaah.! Ada yang terlempar..! Seonggok bangkai harapan tiba-tiba saja terpuruk di bawah jendela kaca yang tembus masa depan namun terkunci rapat itu. Wolo-wolo kuwato…. Kadang-kadang ikhlas ternyata harus diawali dari keterpaksaan, dari belajar mereguk rasa pahit… Lalu mengadaptasi kegetiran menjadi sesuatu yang lumrah tanpa rasa. Atau jika mau bisa “dipaksakan” menjadi terasa manis semanis anggur syurgawi.
Andai saja mampu membingkai tagihan-tagihan lahiriah itu menjadi sesuatu yang lebih santun, pasti akan lahir legawa untuk segera pulang menumpang di gerbong kereta nasib atau takdir sekalipun. Andai saja penghambaan ini tidak terus-menerus berkedok kemunafikan yang hanya banyak menabur harap, kemudian andai saja yang ada hanya lafal dan rasa memuja kepada sang kekasih, pasti langkah kaki akan ringan seperti kapas kering ditiup angin. Aaah…! Rinai hujan belumlah reda sedikitpun… ritmenya seperti tembang-tembang pujian yang mengalun dari pusat-pusat alam naluri. Andai saja langkah-langkah kaki tidak tersaruk juluran-juluran ego dan mampu menapak jujur.. alangkah nikmatnya menari ditingkahi ritme suara air hujan Nopember ini.
Di luar parit-parit upaya sudah sepenuhnya meluap, menghempas segala obyek eksistensi. Semua bahkan menjadi pucat pasi dan hanya tinggal menggantungkan parameter pada seutas garis tipis bernama moralitas. Luberan badai-badai kecil rekaan jiwa dahaga, selalu mengotori fatwa bijak yang tersaji di cawan-cawan kearifan disepanjang pagar akhlak. Semoga tidak menjelma sebagai kumpulan badai yang menjadi cikal bakal prahara. Prahara yang kontribusinya memalingkan dan mengubah arah nafas jiwa yang tenang jauh dari sarang hakiki.
Sembari mematut angan, dan masih duduk di serambi diri dengan berselimut dingin yang membeku. Sepercik bara yang tersisa masih terlindung dari rengkuhan basahnya air…. Kehangatan yang tidak lagi dapat dirasakan namun harus tetap ada dan menyala. Biarlah rinai hujan memaksa ekspresi diri itu terjebak di ruang persegi yang sempit dan pengap, asalkan dalam pejaman mata sekalipun bathinku dapat menari menyongsong sinar.
Read More..
test
10 months ago